Sabtu, 15 Januari 2011

OH BAYGOOOON!!


“OH MY GOOOOOD!!!” teriak Yani begitu menyaksikan tendangan yang dilakukan oleh Timnas tidak berhasil menjebol gawang Malaysia. Ia gregetan sekali melihat Timnas yang dari tadi belum menghasilkan satu gol pun. Belum hilang gregetannya, tiba2 Raisha, anak perempuannya yang baru berumur 2.5 tahun berteriak.

“Oh BAYGOOOOOONNN!!!”, teriakan yang sama juga dilontarkan oleh Abangnya Raisha, Bima.

“Kok bilang baygon sih dek?” tanya Yani pada Raisha. Dengan mulutnya yang mungil itu, Raisha menjawab, “Kan mama yang bilang gitu tadi”

“Kapan?” Tanya Yani lagi

“Tadi, waktu nonton bola…”. Ealaaaahh..meledaklah tawa Yani, ia geli mengetahui anak2nya yang salah menirukan teriakannya, seharusnya Oh My God berubah jadi Oh Baygon… hehehhe ada2 aja..

Dilain kesempatan, Yani dan suaminya juga pernah dibuat tertawa oleh ulah anak-anaknya. Ketika itu Bima baru saja belajar lagu Indonesia Raya. Sewaktu dia menyanyikan lagu itu, syairnya berubah menjadi seperti ini:

Bangunlah liwanya

Rambutan badannya

Untuk Indosesa Raya

Atau Raisha yang mencoba menirukan jingle iklan XL yang dibawakan Sherina, syairnya menjadi seperti ini:

Punya mata

Tidak ada buntutnya

Bandingkan dengan aslinya:

Oh nyamannya

Tidak ada batasnya

Pilih paket yang kau butuhkan

Jauh banget kan penyimpangannya kan? Hehehehe...

Anak-anak yang hadir ditengah kita tanpa kita sadari telah memberi banyak warna dalam hidup ini. Ya, mereka acapkali membuat suasana rumah yang awalnya sepi, tak ada gelak tawa, berubah menjadi ceria. Tertawa membuat jiwa menjadi sehat, begitu kata salah seorang peneliti. Jadi secara tidak langsung kita sehat salah satunya adalah karena ada anak2 didekat kita. Namun terkadang kehadiran mereka sering kita abaikan, sering kita tidak menghargai keceriaan yang telah mereka ciptakan. Berapa kali kita memarahi mereka, mengacuhkan mereka, menolak menemani mereka dengan alasan capek, banyak kerjaan, ingin kumpul dengan teman, lagi buka fesbuk, BBM-an, dan lain-lain. Pasti jawabnya “sering”. Ya kan?

Pernahkah kita merenung betapa sunyinya hidup tanpa anak2? Jika belum, cobalah tanya pada teman2 yang belum dikaruniai momongan atau kepada orang tua yang ditinggal oleh anak2nya pergi merantau. Walaupun rumah meraka senantiasa bersih, rapi, bisa memajang barang pecah belah disetiap sudut ruang tamunya, namun mereka merasakan kesepian. Walaupun setiap hari mereka bisa pulang malam, melakukan hobinya kapan saja tapi akan selalu ada perasaan “hampa”, “kosong” ketika menyadari tidak ada pipi2 kecil dan lembut yang akan mereka cium, tidak ada tawa riang yang menyambut kepulangan mereka didepan pintu seraya berteriak, “papa pulang!” atau “mama datang!” atau “mama bawa kue apa untukku?” sambil tangan kecilnya merogoh kantong belanjaanJ. Ah, jika moment itu kita nikmati dengan sepenuh hati, akan ada perasaan hangat didalam dada ini, akan ada perasaan capek yang tiba2… BUZZ! sirna entah kemana.

Harusnya kita berterima kasih pada malaikat kecil itu… dan kepada Sang Khalik yang telah menghadirkan mereka ditengah2 kita.

Laa Taqdob, Walakal Jannah



“Adoooh… kenapa sih suka banget berantakin rumah?! Bongkar-bongkar kursi! Coret-coret dinding! Kalo selesai main beresin dong! Mama kan capek kalo tiap sebentar harus ngerapiin rumah!! Ngerti dong! Bisa tidak ga bikin mama marah?! Sudah, sana masuk kamar! Tidur!!

Begitulah kejadiannya malam itu, ketika Dewi mendapatkan ruang tamu dalam keadaan yang super duper berantakan, padahal hanya dia tinggal sebentar untuk sholat Isya. Anak-anaknya hanya terdiam dan berjalan ke kamar sambil menunduk.

Ya, hari itu dia benar2 kesal dan tak lagi bisa menahan kemarahannya. Sudah berulang kali dia berusaha menasehati anak2nya agar merapikan rumah setelah selesai bermain. Sudah berulang kali pula ia berusaha meredam amarahnya kepada anak2. Tapi yah, anak2 yang baru berumur 2 dan 4 tahun itu memang belum bisa diharapkan untuk melakukan itu semua. Ia sadar, ia tak pantas bersikap seperti ke anak2, mereka bisa tumbuh menjadi anak2 yang pemarah juga dan dapat memutar ulang lagi semua sikap dan ucapannya tadi suatu hari kelak.. Dewi hanya dapat tersenyum getir menyadari semua kesalahannya. Menyadari betapa anak2nya tersakiti dengan sikapnya tadi, menyadari bahwasanya ia belum mampu menjadi ibu yang patut diteladani, menyadari bahwasanya ia telah merampas hak anaknya untuk mendapatkan perlakuan yang baik dirumahnya sendiri, dari ibu kandungnya sendiri!

Mengapa semua orangtua selalu ingin anaknya memahami dirinya, bahkan bebas marah, membentak dan mengeluarkan kata-kata yang mungkin menyakitkan hati si anak dan selalu merasa dirinya benar.”

Perlahan ia tarik napas, ia hampiri anak-anaknya yang sedang berbaring. Tidak ada suara. Mereka hanya saling berpandangan dalam diam.
“Maafkan mama ya nak” ucapnya lirih sambil mengulurkan tangan ke kedua buah hatinya.
“Sini peluk mama”. Anaknya berebut memeluknya sambil tertawa-tawa..

“Begitu mudahnya mereka memaafkan dan menerimaku kembali”, pikir Dewi. Betapa ia merasa malu terhadap anak2nya karena ia sendiri mungkin tak akan bisa bersikap seperti itu terhadap orang yang menyakitinya.

“Ya Allah, jadikanlah hamba ibu yang selalu dapat bertutur kata lemah lembut kepada anak2 hamba”, bisiknya dalam hati.